JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengaku sempat mempercayai ucapan Ketua KPK Firli Bahuri terkait tes wawasan kebangsaan (TWK).
Novel mengaku sempat menghubungi Firli melalui aplikasi WhatsApp untuk menanyakan urgensi pengadaan TWK.
"Saya sempat tanya Pak Firli, saya WhatsApp, apakah jika TWK digunakan untuk mencari tahu ada pegawai yang berhubungan dengan organisasi terlarang, maka sudah ada indikasinya? Apa indikasinya?" kata Novel dalam diskusi virtual yang diadakan Arus Santri Antikorupsi (ASASI) dan Pasantren Amanah dan Anti Rasuah (PATUH), Rabu (2/6/2021).
Baca juga: Novel Mengaku Sempat Bertanya kepada Firli Bahuri tentang Urgensi TWK
Novel menyampaikan pertanyaan itu karena selama ini informasi yang disampaikan para pimpinan KPK adalah TWK digunakan hanya sebagai asesmen serta melihat apakah pegawai KPK tidak berafiliasi dengan partai terlarang, mencintai NKRI, patuh pada UUD 1945, dan Pancasila.
Setelah itu, menurut Novel, Firli menjawab bahwa tidak ditemukan indikasi adanya pegawai yang tergabung dengan organisasi terlarang.
"Dijawab beliau 'tidak ada'. Lalu saya mengatakan jika memang ada indikasinya tidak perlu menunggu proses peralihan status kepegawaian. Setiap saat pegawai itu bisa diberhentikan, disingkirkan, karena hal itu juga sudah melanggar kode etik di KPK," kata dia.
Terima kasih telah membaca Kompas.com.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Novel mengatakan, setelah itu Firli menjelaskan padanya bahwa TWK hanya digunakan untuk memetakan pegawai.
Karena mendapat keterangan itu, Novel bersama sejumlah pegawai lainnya kemudian memilih mempercayai pernyataan Firli dan mengikuti TWK.
"Maka kami kemudian berpikir positif dan mengikuti saja, tetapi akhirnya masalahnya banyak," kata dia.
Baca juga: KPK Tak Akan Publikasikan Nama-nama Pegawai yang Tak Lolos TWK
Di sisi lain, Novel merasa aneh bahwa dirinya dianggap tak lolos TWK. Saat menjalani TWK, ia sempat mendapat pertanyaan dari tim asesor tentang pandangannya akan persoalan korupsi di Papua.
Pada pertanyaan itu, Novel menjawab bahwa persoalan di Papua mesti dilihat dari sudut pandang disintegrasi. Bahwa terjadinya disintegrasi itu karena masalah kesejahteraan.
"Jika korupsi bisa dieliminir di Papua, masalah kesejahteraan bisa teratasi, tetapi atas jawaban saya itu kemudian dimaknai tidak lolos wawasan kebangsaan, kan aneh," kata dia.
Novel menilai bahwa pemberhentian dirinya dan 50 pegawai lain yang dianggap tak memenuhi syarat (TMS) menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena tak lolos TWK akan membuat banyak pihak takut memperjuangkan kepentingan negara.
Apalagi, stigma yang seolah diberikan bahwa para pegawai tak lolos TWK itu punya ideologi radikal dan taliban.
"Orang-orang yang risiko pengabdian, dan dedikasi terbaik dengan mudah disebut radikal atau taliban. Saya khawatir ke depan orang-orang takut jika benar-benar membela kepentingan negara," ucap dia.
Baca juga: Dilaporkan Novel Baswedan dkk, KPK: Kami Hormati dan Serahkan Sepenuhnya ke Komnas HAM
Sebanyak 1.271 pegawai KPK telah dilantik menjadi ASN bertepatan dengan Hari Kelahiran Pancasila, Selasa (1/6/2021).
Namun demikian, berdasarkan rapat koordinasi yang dilakukan enam lembaga pada Selasa (25/5/2021), telah diputuskan bahwa 51 dari 75 pegawai tetap dinyatakan tak bisa menjadi ASN.
Akibatnya, para pegawai itu tidak bisa lagi bekerja dan bergabung dengan KPK.
Sementara itu, dalam rapat koordinasi itu juga diputuskan bahwa 24 pegawai masih akan diberi kesempatan menjadi ASN setelah mendapat pendidikan wawasan kebangsaan.
Rapat koordinasi itu dilakukan KPK bersama dengan lima lembaga lain yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), serta Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Novel Mengaku Sempat Percaya Firli yang Bilang TWK Hanya Petakan Pegawai - Kompas.com - Nasional Kompas.com
Read More
No comments:
Post a Comment